Provinsi Kalimantan Utara, yang berbatasan langsung dengan Negara Malaysia, masih menghadapi kesenjangan besar dalam akses listrik, terutama di desa-desa perbatasan dan daerah prioritas. Bagi sebagian besar masyarakat di perkotaan, listrik adalah kebutuhan dasar yang selalu tersedia. Namun, bagi masyarakat di wilayah perbatasan Kalimantan Utara, listrik masih menjadi barang mewah yang sulit diperoleh, bahkan banyak desa yang hanya mengandalkan genset dengan biaya tinggi, atau sama sekali belum menikmati listrik sepanjang hidup mereka.
Kondisi geografis yang ekstrem—hutan lebat, pegunungan terjal, dan aliran sungai besar—menjadikan pembangunan infrastruktur listrik membutuhkan biaya besar dan waktu panjang. Rendahnya daya beli masyarakat, minimnya insentif bagi daerah yang berhasil mempercepat elektrifikasi, serta lambatnya koordinasi lintas sektor semakin memperburuk keadaan. Akibatnya, masyarakat perbatasan tertinggal dalam pendidikan, layanan kesehatan, akses telekomunikasi, dan produktivitas ekonomi, sehingga terjebak dalam lingkaran kemiskinan.
Menjawab tantangan tersebut, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Utara meluncurkan program “Kaltara Terang di Perbatasan Negeri: Strategi Elektrifikasi di Daerah Perbatasan dan Daerah Prioritas untuk Meningkatkan Produktivitas Masyarakat dalam Menurunkan Angka Kemiskinan.”
Program ini merupakan Proyek Perubahan Ir. Yosua Batara Payangan, ST., M.Si dalam Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat II (PKN Tk. II) Angkatan XVIII di BPSDM Jawa Tengah, yang dirancang untuk mempercepat elektrifikasi berbasis energi baru terbarukan (EBT) dengan solusi yang sesuai kondisi geografis perbatasan, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) sistem off-grid.
Program ini dilandasi oleh:
Roadmap daerah perbatasan dan prioritas 2025–2030,
Regulasi daerah berupa Peraturan Gubernur,
Skema pendanaan multi-sumber (APBN, APBD, Anggaran PLN, CSR, donor), dan
Kolaborasi hexahelix yang melibatkan pemerintah, swasta, akademisi, media, masyarakat, dan NGO.
Tahapan implementasi mencakup:
Jangka Pendek: pemetaan desa yang belum berlistrik, pembentukan tim koordinasi, dan pelaksanaan proyek percontohan (pilot project) elektrifikasi.
Jangka Menengah: pembangunan infrastruktur EBT di desa-desa prioritas dan pelatihan teknis bagi SDM lokal agar mampu mengelola infrastruktur secara mandiri.
Jangka Panjang: pencapaian rasio elektrifikasi 100%, terciptanya kemandirian dan ketahanan energi di desa perbatasan, serta penurunan signifikan angka kemiskinan.
Secara ekonomi, penggunaan PLTS jauh lebih hemat dibandingkan PLTD, mampu menurunkan biaya listrik rumah tangga hingga lebih dari 100% dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Secara sosial, program ini membuka akses:
Pendidikan (penerangan sekolah, fasilitas belajar daring),
Kesehatan (penerangan puskesmas, penyimpanan vaksin),
Telekomunikasi dan informasi (akses internet, jaringan seluler), serta
Peluang usaha baru (rumah produksi, UMKM berbasis listrik).
Secara strategis, program ini memperkuat kedaulatan energi di wilayah perbatasan dan dapat menjadi model nasional elektrifikasi berkelanjutan yang berorientasi pada pemerataan energi, keadilan sosial, dan pembangunan inklusif.
Dengan visi yang jelas, dukungan regulasi yang kuat, serta sinergi lintas sektor, “Kaltara Terang di Perbatasan Negeri” bukan sekadar proyek ketenagalistrikan. Program ini adalah langkah nyata untuk menerangi perbatasan, menggerakkan perekonomian desa, meningkatkan produktivitas masyarakat, dan pada akhirnya memutus lingkaran kemiskinan di Kalimantan Utara.